Kamis, 20 November 2014

Sindrom Darah Kental: Menguak rahasia di balik keguguran berulang, serangan jantung, dan stroke.

Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.

Kenali gejalanya, dan segera atasi dengan cara mudah!


Jangan pernah meremehkan sakit kepala, kerontokan rambut, sulit konsentrasi, kesemutan, atau kulit yang mudah memar. Gejala-gejala itu bisa berupa sinyal sindrom darah kental atau yang sering juga disebut sindrom antifosfolipid (Antiphospholipid Syndrome atau APS). Berdasarkan nama penemunya, juga dapat disebut sindrom Hughes. Sementara berdasarkan beberapa komponen penyebabnya, beberapa kalangan menyebutnya sindrom ACA (Anticardiolipin Antibody). Ibarat jalanan yang padat dengan kendaraan, darah yang terlalu kental dapat menyesaki pembuluh darah. Akibatnya, aliran darah ke seluruh tubuh menjadi terhambat. Efeknya bisa ditebak: pasokan oksigen dan zat makanan yang diperlukan oleh seluruh sel tubuh jadi terganggu. Menurut Dr Aru W. Sudoyo, Sp.PD, Ph.D, FACP, konsultan hematologi-onkologi dari Divisi Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, keadaan inilah yang mengundang datangnya berbagai gangguan penyakit. Mulai dari migren, keguguran berulang, gangguan ginjal, penyumbatan paru-paru, serangan jantung, stroke, tuli, buta mendadak, dan lain- lain. Yang harus diwaspadai, sindrom darah kental ini tidak pandang bulu dalam memilih penderitanya. “Dalam Kongres Nasional Perhimpunan Hematologi dan Tranfusi Darah yang baru saja usai (diselenggarakan pada 26 sampai 29 November 2008 di Batu, Malang) dinyatakan bahwa anggapan sindrom ini banyak diderita oleh orang Amerika dan Eropa sudah tidak berlaku lagi. “Belakangan, jumlah penderita dari Asia meningkat tajam bahkan semakin banyak diderita oleh mereka yang usia muda, tanpa memandang jenis kelaminnya. Di Indonesia, angka pastinya memang belum ada. Namun hal ini, antara lain bisa dilihat dari semakin banyaknya penderita stroke di usia produktif, juga ibu muda yang sering keguguran,” Dr Aru menjelaskan. Antibodi salah perhitungan Sayangnya, sindrom ini sering terdeteksi pada tingkat yang sudah lumayan parah. Itu pun, sering didiagnosis sebagai penyakit lain, karena gejala pada setiap penderitanya sangat bervariasi. Tidak mengherankan, banyak penderita yang harus berpindah-pindah dari satu dokter ke dokter lain, serta melakukan pemeriksaan satu ke pemeriksaan lain sebelum menemukan biang keladi yang sesungguhnya (lihat boks). Bila beberapa penderitanya sering melalui proses yang cukup berbelit sebelum menemukan bahwa penyakitnya disebabkan oleh sindrom darah kental, hal ini bisa dimaklumi. Sindrom darah kental memang belum terlalu populer, bahkan di kalangan medis sendiri. Menurut Dr Aru, hal ini disebabkan sindrom darah kental masih tergolong penyakit baru. Di luar negeri, sindrom darah kental dipopulerkan pertama kali pada 1983 oleh Dr R.V Graham Hughes, ahli reumatologi dari rumah sakit St Thomas, London, Inggris. Pada saat itu, ia menemukan bahwa kelumpuhan saraf tulang belakang yang mendadak (disebut neuropati Jamaika) ternyata disebabkan oleh adanya antibodi antifosfolipid. Dalam keadaan normal, antibodi merupakan kumpulan protein dalam darah yang dibentuk oleh sistem kekebalan tubuh, untuk memerangi benda asing yang dianggap musuh, seperti zat racun, bakteri, dan virus. Namun pada sindrom darah kental, tubuh menganggap fosfolipid (senyawa berlemak yang terdapat pada membran sel) sebagai musuh. Fosfolipid merupakan senyawa berlemak yang terdapat pada membran sel, dan berperan dalam pembekuan darah. Pada saat kita terluka atau mengalami pendarahan, tubuh memproduksi fosfolipid. Agar jumlahnya tidak berlebihan, antibodi juga memproduksi antifosfolipid. Namun sayangnya, pada sindrom darah kental tubuh kita salah perhitungan. Tanpa kehadiran fosfolipid, antibodi tetap memproduksi pasukan antifosfolipid untuk menyerang sel-sel tersebut. Akibatnya, darah jadi sering mengalami pembekuan dalam pembuluh (trombosis). “Mekanisme yang sering disebut autoimun tersebut umumnya terjadi pada penderita sindrom darah kental yang disebabkan oleh faktor genetika dan hingga saat ini belum jelas penyebabnya,” tutur Dr Aru. Karena kurang nutrisi Sementara Andang Gunawan, ND, ahli terapi nutrisi di Jakarta, menganggap bahwa perilaku antibodi yang abnormal tersebut bisa disebabkan oleh gangguan keseimbangan biokimia di dalam tubuh. “Sekarang ini, pola makan kita cenderung menyukai makanan cepat saji, serba instan, dan diproses,” tutur Andang. “Makanan-makanan semacam itu mengandung bahan kimia yang tidak diperlukan tubuh dan akan diperlakukan sebagai racun. Antibodi akan menganggapnya sebagai musuh yang harus dibasmi. Bila dikonsumsi secara berlebihan, antibodi pun bekerja superkeras untuk mengimbangi. Bila jumlahnya sudah melebihi keseimbangan yang diperlukan, sel-sel darah putih ini justru dapat berbalik menyerang sistim kekebalan itu sendiri. Makanan diproses dan serba instan umumnya juga miskin nutrisi penting yang diperlukan sel-sel di dalam tubuh untuk melangsungkan proses kimiawi. Logika sederhananya, ingat-ingat saja saat kita lapar. Otak menjadi sulit konsentrasi, tubuh lemas, dan kita lebih gampang emosi karena sistem neurotransmitter di otak mengalami error. “Seperti itu juga yang terjadi pada sel-sel dan organ tubuh kita. Ketika sistem antibodi salah perhitungan dan mengerahkan antifosfolipid tidak pada waktunya, bisa jadi hal itu disebabkan karena sel-sel dalam tubuh kita sedang kekurangan zat nutrisi tertentu. Mekanisme ini mungkin bisa menjelaskan mengapa perilaku sel bisa menjadi abnormal, terutama pada sindrom darah kental yang tidak disebabkan oleh faktor genetis,” jelas Andang. Biang keladi keguguran Selain itu, kekentalan darah juga dapat disebabkan gangguan keseimbangan asam basa (PH balance) yang dipicu oleh terlalu banyak mengkonsumsi makanan instan, diproses, tinggi lemak, namun kurang sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Hal itu disebabkan, makanan semacam itu umumnya mengandung mineral non-logam (sulfur, fosfor, khlor, dan iodin atau garam) dan protein tinggi, namun sedikit mengandung air, merupakan golongan makanan pembentuk asam. Bila dikonsumsi secara berlebihan, akan mendorong darah untuk cenderung asam. Pada kondisi tersebut, darah kita akan memproduksi fibrin -protein berbentuk serat yang dikenal sebagai komponen dasar untuk pembekuan darah. Fibrin memang dibutuhkan oleh tubuh. Namun bila jumlahnya berlebihan karena pola makan yang tak seimbang, serat-serat halus fibrin akan diubah oleh enzim trombin menjadi jaringan yang dapat mengurung dan mengacaukan sel-sel darah. Jaringan-jaringan itu tidak hanya membuat darah jadi lebih kental, namun sekaligus juga membuat aliran darah menjadi sempit, bahkan tertutup total,” jelas Andang. Keadaan tersebut, memicu terjadinya trombosis. Bila terjadi pada wanita hamil, risikonya adalah keguguran. Menurut Prof Dr Karmel L.Tambunan, Sp PD, KHOM, Ph.D, FACTH, dari Bagian Hematologi Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, trombosis meningkatkan risiko pre-eklamsia (tekanan darah mendadak meningkat drastis). “Namun sebelum terjadi trombosis, darah yang terlalu kental saja sudah mengganggu pasokan oksigen dan nutrisi untuk janin,” komentar Dr Aru. Pasalnya, pembuluh plasenta berukuran sangat halus sehingga darah yang kental akan sulit mengalir. Kalaupun janinnya berkembang, kondisi tersebut menyebabkan bayi berisiko lahir dengan berat badan rendah, meninggal saat dilahirkan, atau lahir prematur. Trisna (36 tahun), karyawati di Jakarta, mengalaminya saat hamil anak kedua. “Setelah sering flek selama kehamilan, bayi tersebut lahir prematur. Namun sayang, karena fungsi organ-organnya belum sempurna, usianya hanya beberapa hari saja,” sesalnya. Pusing, bercak kulit, sampai kematian Selain pada wanita hamil, gejala sindrom darah kental bisa muncul dalam berbagai rupa tergantung lokasi trombosisnya. Berdasarkan golongannya, pembekuan bisa terjadi di pembuluh darah (arteri) dan pembuluh darah balik (vena). Akibat pembekuan darah yang terjadi di arteri juga bervariasi. Bila menyerang otak, gejalanya bisa berupa sakit kepala, merasa melayang, rasa mudah lelah dan lemas yang tidak jelas penyebabnya, gangguan bicara, kejang, gangguan daya ingat, hingga stroke yang menyebabkan kelumpuhan. Pembekuan juga bisa terjadi di arteri ginjal (menyebabkan fungsi gangguan ginjal), dan jantung, yang memicu serangan jantung. Gangguan aliran darah pada usus bisa berupa nyeri perut seperti yang dialami Nur, namun juga bisa berupa pendarahan pada anus. Sementara bila terjadi di vena lengan atau kaki, gejala awalnya berupa kram atau kesemutan. Bercak kemerahan (livedo reticularis) bisa terjadi pada kulit bila pembekuan darah terjadi di vena kulit. Pada mata, gejalanya bisa berupa pandangan berbintik, kabur, atau hilang sementara. Bila sudah tersumbat, tentu bisa menyebabkan buta mendadak. Yang bahaya, bila pembekuan terjadi paru-paru dan otak. Gumpalan darah yang menyumbat di sana tidak hanya menimbulkan gejala nyeri di dada, napas tersengal, dan kelumpuhan, melainkan stroke yang menyebabkan kematian mendadak. Obat medis dan efek samping Untuk memastikan diagnosisnya, ada sejumlah tes yang bisa dilakukan (lihat boks: Deteksi Sindrom Darah Kental). Dan bila terbukti positif, biasanya dokter akan memberi sejumlah obat antikoagulan yang berfungsi mengencerkan darah, seperti heparin, aspirin atau aspilet (aspirin untuk anak-anak), serta ticlid dan warfarin (coumadin). Dosisnya ditentukan berdasarkan pengukuran INR (International Normalized Ratio), yang dapat menunjukkan kadar kekentalan darah. Umumnya, angka INR yang diharapkan berkisar di angka 2 dan 3. Beberapa obat-obatan antimalaria, kortikosteroid, dan imunomodulator juga diberikan pada beberapa kasus sindrom darah kental, tergantung pada kondisi pasien. Secara medis, obat-obatan tersebut sudah diperhitungkan dan cukup aman. Namun berdasarkan informasi indeks obat-obatan farmasi, obat-obat tersebut memiliki efek samping yang perlu diketahui dan didiskusikan terlebih dahulu antara dokter dan pasien. Menurut Andang, heparin dapat membatasi kemampuan tubuh dalam mengaktifkan vitamin D dan menyebabkan defisiensi kalium dan kalsium. Penggunaan heparin dalam waktu lama juga menyebabkan hiperkalemia (kelebihan kalium dalam darah) dan pengeroposan tulang. Aspirin atau aspilet, dapat menyebabkan tubuh kekurangan asam folat, mineral besi, dan seng, vitamin C, dan vitamin E. Kekurangan zat-zat gizi ini antara lain menimbulkan nyeri otot, pendarahan pada usus, dan anemia. Ticlid (ticlopidine) menyebabkan mual atau nyeri lambung. Sementara warfarin (coumadin) menyebabkan defisiensi mineral besi, magnesium, seng, juga vitamin C, D, E, K, serta co-enzyme Q10. “Sayangnya, tambahan suplemen gizi tidak bisa diberikan begitu saja pada pasien yang sedang menggunakan obat-obatan tersebut,” kata Andang. Karena beberapa jenis zat gizi seperti vitamin C, D, dan E, dapat mengencerkan darah. Bila dikonsumsi bersama obat-obatan antikoagulan, dikhawatirkan darah menjadi terlalu encer dan menyebabkan pendarahan. Sebaliknya, vitamin K bersifat meningkatkan proses pembekuan darah sehingga bila dikonsumsi bersama obat pengencer darah, dikhawatirkan bisa mengurangi efektivitasnya. Beberapa jenis herba dan zat pada makanan seperti jahe, gingko biloba, cengkih, ginseng, bawang putih, dong quai, jamur dansen, dan pepaya, juga dapat berinteraksi negatif dengan obat-obatan tersebut. Oleh sebab itu, Dr Setiawan Dalimartha, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Pengembang Kesehatan Tradisional Timur (PDPKT) di Jakarta, menyarankan agar tetap berhati-hati saat mengkonsumsi herba yang berkhasiat mengencerkan darah seperti paprika dan cabai. “Kondisi seseorang sangat individual sehingga meskipun herba-herba itu bisa membantu, sebaiknya tidak mengambil keputusan sendiri untuk tmeninggalkan obat dan beralih ke terapi herba,” tuturnya, menekankan bahwa herba tidak bisa diandalkan sendirian. Atasi secara holistik! Memang, ada banyak aspek yang harus dilakukan untuk mengatasi sindrom ini. Apalagi, obat-obatan yang selama ini digunakan belum dapat mengobati sindrom darah kental. “Fungsinya hanya mengencerkan darah ke tingkat normal, untuk mencegah terjadinya gangguan yang lebih parah,” tutur Dr Aru. Selain mengkonsumsi obat secara teratur, beberapa hal yang mutlak dilakukan agar pengobatan berjalan efektif antara lain sebagai berikut: Benahi pola makan. Kembali ke pola makan alamiah, dengan membiasakan diri mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan segar. Bila bisa menggunakan yang organik, itu lebih baik. Hindari makanan diproses Antara lain makanan olahan (makanan kalengan, instan, dll), daging olahan (sosis, corned beef, bakso, dll), pemanis sintetis, pengawet sintetis, cuka sintetis, MSG, margarin, dan minuman bersoda. Batasi konsumsi karbohidrat olahan Antara lain cake, kue, biskuit, roti dari tepung putih, puding, dan es krim, daging merah, bumbu masak siap pakai, minyak goreng, mentega, keju, kopi, teh, dan cokelat. Perhatikan cara memasak makanan Hindari mengolah sayur-sayuran dan buah-buahan terlalu matang, karena akan merusak enzim, vitamin, mineral, dan zat-zat penting di dalamnya. Olahraga teratur Olahraga meningkatkan pasokan oksigen ke otak 5 hingga 10 kali lipat. Pembuluh darah menjadi lebih terbuka, sehingga sirkulasi darah lebih lancar dan metabolisme tubuh jadi lebih baik. Banyak minum air putih Anjuran minum paling sedikit 8 gelas sehari tetap berlaku. Air putih sangat berperan dalam mengencerkan darah. Tinggalkan rokok Zat-zat di dalam rokok dapat merusak lapisan dinding pembuluh darah bagian dalam (endotel). Kerusakan endotel akan mengaktifkan sistem pembekuan darah dan memicu trombosis. Sering-sering refreshing! Stres membuat sel-sel darah cenderung berkelompok, yang memicu trombosis. Untuk menghindarinya, tidak perlu meluangkan anggaran khusus untuk rekreasi demi menghindari stres. Secara teratur, luangkan saja waktu untuk diri sendiri. Nikmati setiap aktivitas yang Anda sukai, atau sekadar duduk di sudut ruangan: bermeditasi. Terdengar klise? Mungkin. Namun ada baiknya kita merenung dan mulai menyadari, begitu banyak hal besar yang tidak kita inginkan terjadi karena mengabaikan hal-hal sepele. Jadi bagaimana, siap merubah gaya hidup jadi lebih sehat? (N) Boks 1: Ternyata, Sindrom Darah Kental Biang Keladinya “Mulai toksoplasma hingga rhesus darah tidak cocok” Ketika kehamilan pertamanya gugur di usia 7 minggu, Sisca (31 tahun), model di Jakarta, hanya menyangka bahwa ia kelelahan. Hingga beberapa bulan berikutnya, ia pun kembali dinyatakan hamil. Sayangnya, kehamilan keduanya bermasalah lagi. “Ketika diperiksa dengan USG (ultrasonography-red), janin saya tidak berkembang. Kantung ketubannya ada, namun inti yang akan berkembang menjadi bayi sama sekali tidak terdeteksi,” katanya pilu. Sisca pun kembali merelakan rahimnya untuk dikuret. Karena ingin segera menimang anak, Sisca berkonsultasi dengan dokter kandungannya, mengenai penyebab ia dua kali gagal hamil. “Dokter mengatakan mungkin saya terkena virus toksoplasma, dan menganjurkan cek di laboratorium,” tuturnya. Ternyata, hasilnya negatif. Kecurigaan selanjutnya pun mengarah pada ketidakcocokan rhesus atau kromosom darah antara ia dan Fadlan, suaminya. “Namun hasil pemeriksaan laboratorium kembali menunjukkan darah kami baik-baik saja”, tukasnya. Saat hampir menyerah, tanpa sengaja seorang teman menganjurkan Sisca untuk mengetes kekentalan darah. “Menurutnya, keguguran bisa disebabkan karena janin saya tidak mendapatkan suplai makanan akibat darah saya terlalu kental,” lanjutnya, “Sehingga saya tak membuang waktu lagi untuk periksa. Ternyata benar, kekentalan darah saya sangat tinggi (kadar IgG mencapai 80, dari standar maksimal 15),” tutur Sisca, yang kemudian segera mencari ahli darah dan dokter kandungan yang memahami sindrom darah kental untuk menangani kondisinya. “Awalnya, hanya dikira pre-eklamsia” Tidak ada gangguan berarti pada kehamilan Lenna (29 tahun), hingga saat kehamilannya berusia 35 minggu, tekanan darah yang sebelumnya berada di garis normal tiba-tiba melonjak jadi 140/90 mg/dl. “Awalnya, dokter hanya mengatakan saya pre-eklamsia, yang memang banyak diderita oleh wanita hamil,” tutur karyawati yang berdomisili di Bandung ini lagi. Namun karena di saat yang sama berat badan Lenna juga melonjak drastis (5 kilogram dalam 1 minggu!), dan mengalami bengkak di kaki, dokter menganjurkan Lenna menjalani tes urin untuk melihat fungsi ginjalnya. “Hasilnya, terdapat kadar protein yang tinggi di dalam urin saya. Oleh sebab itu, pemeriksaan pada ginjal pun dilanjutkan secara lebih detil,” lanjutnya. Ternyata, hasil pemeriksaan menunjukkan ada pembekuan pada vena di kedua ginjalnya. “Saat itulah Dokter baru curiga dan menganjurkan saya untuk tes kekentalan darah,” kata Lenna. Benar saja, hasil tes menunjukkan adanya anticardiolipin antibody (ACA), semacam kelainan protein dalam darah yang membuat darah terlalu cepat mengental dan membeku sehingga menyumbat vena ginjalnya. Meskipun dapat melahirkan bayinya dengan selamat, Lenna harus menjalani pengobatan intensif untuk menyembuhkan ginjalnya. “Ternyata bukan radang usus” Dua tahun lamanya, Nurhidayati (51 tahun, bukan nama sebenarnya), merasakan nyeri yang semakin parah pada perutnya. Beberapa dokter yang dikunjunginya mencurigai ia menderita tukak lambung dan radang usus, dan memberi sejumlah obat serta beberapa jenis makanan untuk dihindari. “Namun kondisi saya tak kunjung membaik,” sesal Nur, yang sempat berganti-ganti dokter ini. Hingga akhirnya, dokter yang terakhir dikunjunginya menganjurkan ia menjalani endoskopi untuk melihat barangkali terdapat kelainan pada esofagus, lambung, dan usus 12 jarinya. Hasilnya? “Nihil. Semua baik-baik saja,” tukas ibu rumah tangga yang berdomisili di Depok ini. Untung, Dokter segera tanggap dengan rasa nyeri yang sering menyerangnya sekitar 1 jam setelah makan. “Menurutnya, bisa jadi itu indikasi iskemia (tidak cukupnya suplai darah ke organ pencernaan untuk mencerna makanan), sehingga saya diminta rontgen,” tuturnya. Pemeriksaan sinar X menunjukkan ada bagian di arteri usus Nur yang mengalami penyempitan. Karena Dokter juga menjumpai adanya bercak-bercak kemerahan di kulit, ia pun disarankan untuk tes kekentalan darah. “Ketahuanlah penyebab penyempitan arteri di usus dan bercak-bercak yang saya pikir hanya karena kelelahan tersebut,” tutur Nur. Ia pun menjalani pembedahan untuk mengangkat sumbatan di arteri, serta mulai mengkonsumsi obat untuk mengencerkan darah. Boks 2: Deteksi sindrom darah kental Sekarang ini, lokasi pembekuan darah bisa diketahui dengan mudah melalui pemeriksaan CT scan dan MRI. Namun untuk mengetahui penyebab trombosisnya, perlu tes darah di laboratorium. Ada dua jenis tes utama yang dilakukan untuk mendeteksi sindrom darah kental antara lain sebagai berikut: Antibodi antikardiolipin (Anticardiolipin Antibody atau ACA) Jenis antibodi ini bereaksi terhadap bagian dari membran sel fosfolipid, antara lain cardiolipin dan phosphatidylserine. Dilakukan dengan cara mengukur kadar immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin A (IgA). Tes ini umumnya dilakukan untuk wanita hamil yang dicurigai mengidap sindrom darah kental. Antibodi antikoagulan Lupus ( Lupus Anticoagulant antibodies atau aCL) Juga sejenis antibodi yang berperan dalam pembekuan darah. Antibodi LA yang berlebihan banyak ditemukan pada penderita lupus, sehingga lupus sering dikaitkan dengan penyakit ini. Meskipun demikian, sindrom darah kental tidak sama sama dengan lupus. Namun bila menemukan gejala tertentu atau memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, tes-tes berikut ini juga dapat dilakukan: Tes antibodi antibeta-2 glikoprotein I Dilakukan dengan mengukur kadar immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM). Kadar IgG dan IgM yang berlebihan dapat menjadi indikasi sindrom darah kental. Tes activated Thromboplastin Time (aPTT) Bertujuan untuk mengetahui kecepatan pembekuan darah. Normalnya, darah membeku dalam tempo 25 hingga 40 detik. Namun pada sindrom darah kental, darah membeku kurang dari 25 detik. Bila aPTT normal, pemeriksaan lebih mendalam dilakukan dengan tes Russel viper venom time (RVVT), platelet neutralization procedure (PNP) dan Kaolin Clotting Time (KCT). Tes Complete Blood Count (CBC) Bertujuan menghitung komponen darah lengkap, untuk mengetahui kemungkinan trombositopenia (penurunan trombosit) dan anemia hemolitik (anemia disertai pendarahan). Sebabnya, trombositopenia sering dijumpai pada sindrom darah kental dan anemia hemolitik berhubungan dengan produksi IgM aCL (anti cardiolipin) Selain itu, juga dilakukan dengan memeriksa beberapa antibodi tambahan yang diduga melawan fosfolipid. antara lain IgA aCL, IgA beta-2glikoprotein-I, antiphosphatidylserine, antiprotrombin, antiphosphatidylethanolamine, dan antibodi lain yang melawan phosphatidylserine dan protrombin.


 


Oleh: Dyah Pratitasari dalam Laporan Khusus Majalah NIRMALA, Januari 2009 courtesy of NIRMALA Magazine, www.nirmalamagazine.com, FB: Nirmala Magazine




Selain sebagai media informasi kesehatan, kami juga berbagi artikel terkait bisnis.

0 Post a Comment/Comments:

Posting Komentar